Bencana…!! banyak berilmu namun tanpa amal
(dikutip dari buku : DARI MADINAH HINGGA KE RADIORODJA
(Mendulang Pelajaran
Akhlak dari Syaikh Abdurrozzaq Al-Badr, hafizhahullah)
Oleh: Abu Abdil Muhsin Firanda
Mengenai Syaikh Abdurrozzaq, sebagaimana pengakuan sebagian teman yang pernah dekat dengan beliau, bahwasanya beliau bukanlah orang yang paling ‘alim di kota
Madinah, bahkan bukan pula orang yang paling ‘alim di
Universitas Islam Madinah, karena pada kenyataannya masih banyak ulama lain lebih unggul daripada beliau dari sisi keilmuan. Akan tetapi yang menjadikan beliau istimewa di hati para mahasiswa adalah perhatian beliau terhadap
amal,
takwa, dan
akhlak. Hal ini tidak mengherankan karena seringkali wejangan-wejangan beliau tentang perhatian pada mengamalkan ilmu.
Selama kurang lebih 9 tahun, beliau mengajar sebuah kitab tentang
adab karya Imam Al-Bukhari yang berjudul Al-Adab Al-Mufrad di masjid Universitas Islam Madinah, setiap hari Kamis setelah shalat Shubuh. Selama tiga tahun beliau mengajar kitab yang sama di Masjid Nabawi. Ini semua menunjukkan perhatian beliau terhadap
adab dan
akhlak mulia. Bahkan, saat beliau mengisi di
Radiorodja dan waktu itu tidak ada materi yang siap untuk disampaikan, serta kebetulan salah seorang pembawa acara ingin ada pengajian khusus tentang tanya jawab dengan diberi sedikit mukadimah, maka beliau langsung setuju, dan mukadimah yang beliau bawakan adalah tentang pentingnya mengamalkan ilmu.
Orang yang Tidak Shalat Shubuh Berjamaah Bukanlah Penuntut Ilmu
Syaikh Abdurrozaq pernah mengunjungi suatu kampung yang terkenal memiliki banyak penuntut ilmu. Maka beliau pun shalat di masjid tersebut. Di sana, beliau bertemu seorang kakek, lantas beliau berkata seraya memberi kabar gembira kepada sang Kakek, “Masya Allah, kampung Kakek banyak sekali penuntut ilmu.”
Tapi, sang Kakek malah menimpali dengan perkataan sinis, “Tidak ada tullabul ‘ilm (para penuntut ilmu) di kampung ini. Sebab, orang yang tidak shalat shubuh berjamaah bukan penuntut ilmu!”
Syaikh Abdurrozaq tertegun mendengar kalimat sang Kakek. Rupanya benar, banyak penuntut ilmu di kampung tersebut tidak menghadiri shalat shubuh berjamaah. Syaikh pun membenarkan perkataan sang Kakek, “Anda benar, bahwa
ilmu itu untuk diamalkan. Bahkan bisa jadi kita mendapatkan seorang penuntut ilmu semalam suntuk membahas tentang hadits-hadits Nabi yang menunjukkan keutamaan shalat Shubuh secara berjamaah, bahkan bisa jadi dia menghafalkan hadits-hadits tersebut di luar kepalanya. Akan tetapi tatkala tiba waktu mengamalkan hadits-hadits yang dihafalkannya itu, dia tidak mengamalkannya, malah ketiduran, tidak shalat shubuh berjamaah.”
Memang benar bahwasanya tujuan dari menuntut ilmu adalah untuk diamalkan. Rasulullah. bersabda:
القُرْآنُ حُجَّةٌ لَكَ أَوْ عَلَيْكَ
Al-Quran akan menjadi hujjah (yang akan membela) engkau atau akan menjadi bumerang yang akan menyerangmu. (HR Muslim no 223)
Saya teringat nasihat Syaikh Utsaimin yang disampaikan di hadapan para mahasiswa
Universitas Islam Madinah, bahwasanya
ilmu itu hanya akan memberi dua pilihan, dan tidak ada pilihan ketiga, yaitu: [1] menjadi pembela bagi pemiliknya atau [2] akan menyerangnya pada hari kiamat jika tidak diamalkan.
Oleh karena itu, hendaknya seseorang tidak menuntut
ilmu hanya untuk menambah wawasannya, tetapi dengan niat untuk diamalkan agar tidak menjadi bumerang yang akan menyerangnya pada hari kiamat kelak.
Marilah kita renungkan…!
Sudah berapa lama kita ikut pengajian?
Sudah berapa kitab yang kita baca?
Sudah berapa muhadhorah yang kita dengarkan?
Sungguh suatu kenikmatan ketika seseorang bisa aktif ikut pengajian, akan tetapi apakah kita siap untuk menjawab pertanyaan yang pasti akan ditanyakan kepada kita semua, sebagaimana yang dikabarkan Nabi saw.:
وعَنْ عِلْمِهِ, مَاذَا عَمِلَ فِيهِ؟
“Dia akan ditanyakan tentang
ilmunya, apa yang telah diamalkan dari
ilmunya?”
Syaikh Abdurrozzaq menjelaskan bahwa seseorang yang telah banyak mengumpulkan
ilmu lantas tidak diamalkan maka hal ini menunjukkan ada niatnya yang tidak beres. Sungguh menyedihkan jika kita,
ahlus sunah, yang seharusnya memberi perhatian besar terhadap ilmu akidah, baik penanaman akidah maupun pembenahan
akidah-
akidah yang menyimpang di masyarakat, namun
ilmu akidah tidak tercermin pada amalan shalih kita.
Syaikh Abdurrozzaq berkata: “Aku ingin mengingatkan sebuah perkara yang terkadang kita melalaikannya tatkala kita mempelajari ilmu a
qidah. Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata:
كُلُّ عِلْمٍ وَعَمَلٍ لاَ يَزِيْدُ الإِيمَانَ واليَقِيْنَ قُوَّةً فَمَدْخُوْلٌ، وَكُلُّ إِيمَانٍ لاَ يَبْعَثُ عَلَى الْعَمَلِ فَمَدْخُوْلٌ
Setiap ilmu dan amal yang tidak menambah kekuatan dalam keimanan dan keyakinan maka telah termasuki (terkontaminasi), dan setiap iman yang tidak mendorong untuk beramal maka telah termasuki (tercoreng).( Al Fawaid 86)
Maksud “telah termasuki” dari perkataan Ibnul Qoyyim yaitu telah termasuki sesuatu; baik riya, tujuan duniawi, atau yang semisalnya, maka
ilmu tersebut tidak akan bermanfaat dan tidak akan diberkahi. Oleh karena itu,
niat yang baik merupakan perkara yang harus, baik dalam mempelajari
akidah ataupun
ilmu agama yang lain secara umum.
Jika seseorang mempelajari
ilmu akidah hendaknya dia tidak mempelajarinya sekadar menambah telaah dan memperbanyak wawasan, tetapi hendaknya karena
akidah merupakan bagian dari agama Allah yang diperintahkan Allah kepada para hamba-Nya, serta menyeru mereka kepada-Nya dan menciptakan mereka karena
akidah dan dalam rangka merealisasikannya. Maka hendaknya ia berijtihad (berusaha keras) untuk memahami dalil-dalilnya dan ber-taqarrub kepada Allah dengan mengimaninya dan menanamkannya dalam hatinya. Jika dia mempelajari
akidah dengan niat seperti ini maka akan memberikan buah yang sangat besar, dan akan memengaruhinya dalam perbaikan sikap,
amal, dan
akhlak dalam seluruh kehidupannya.
Jika seseorang mempelajari
akidah hanya untuk jidal dan perdebatan, dengan tanpa memerhatikan sisi penyucian jiwa dengan ke
imanan, keyakinan, serta rasa tenang dengan
akidah tersebut, maka tidak akan membuahkan hasil apa-apa.
Di antara contoh tentang perkara ini -- yang berkaitan dengan iman kepada melihat Allah di akhirat kelak -- sabda Nabi :
إِنَّكُمْ سَتَرَوْنَ رَبَّكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ كَمَا تَرَوْنَ الْقَمَرَ ، لاَ تُضَامُونَ ـ وفي رواية:”لا تُضارُّون”، وفي رواية:”لا تُضَامُّون”ـ في رؤيته، فَإِنِ اسْتَطَعْتُمْ أَلاَّ تُغْلَبُوْا عَلَى صَلاَةٍ قَبْلَ طُلُوْعِ الشَّمْسِ وّقَبْلَ غُرُوْبِهَا فَافْعَلُوا ، ثُمَّ قَرَأَ: وَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ قَبْلَ طُلُوعِ الشَّمْسِ وَقَبْلَ الْغُرُوبِ
Sesungguhnya kalian akan melihat Rabb kalian pada hari kiamat sebagaimana kalian melihat bulan. Kalian tidak akan tertutupi oleh awan, (dalam riwayat yang lain: kalian tidak akan saling mencelakakan; dalam riwayat yang lain: kalian tidak akan saling berdesak-desakan), maka jika kalian mampu melaksanakan shalat sebelum terbit matahari dan sebelum terbenam matahari maka lakukanlah.”
Kemudian Nabi membaca firman Allah:
وَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ قَبْلَ طُلُوعِ الشَّمْسِ وَقَبْلَ الْغُرُوبِ
Dan bertasbihlah sambil memuji Tuhanmu sebelum terbit matahari dan sebelum terbenam(nya). (Q.S. Qaf: 39 )
Maksud Nabi adalah shalat Shubuh dan shalat Asar.
Perhatikanlah keterkaitan antara
akidah dan
amal. Nabi menyebutkan kepada para sahabat perkara
akidah, yaitu beriman kepada melihat Allah. Lalu Nabi menyebutkan kepada mereka tentang amal yang merupakan buah dari
akidah yang benar, maka Nabi berkata kepada mereka: “Jika kalian mampu untuk tidak terluputkan….”
Jika ada seseorang mempelajari
hadits-hadits tentang
iman kepada melihat Allah, lantas meneliti jalan
hadits serta sanad-sanadnya, lalu dia mendebat para ahlul kalam dan membantah
syubhat-syubhat seputar hal ini, kemudian ternyata dia begadang dan akhirnya meninggalkan shalat Shubuh, bisa jadi shalat Shubuh tersebut tidak ada nilainya di sisi-Nya. Sang muadzin telah mengumandangkan adzan untuk shalat, “As-Shalatu khairun minan naum,” (Shalat itu lebih baik dari pada tidur) namun kondisinya menunjukkan seakan-akan dia berkata, “Tidur lebih baik daripada shalat.” Maka, mana pengaruh
akidah pada sikapnya?
Kita mohon kepada Allah keselamatan.
Orang seperti ini perlu memperbaiki
niat dan tujuannya dalam mempelajari
akidah agar bisa membuahkan hasil yang diharapkan, maka terwujudkanlah pengaruh yang baik yang barakah baginya. Seorang muslim semestinya mempelajari
akidah karena itu adalah
akidah dan agamanya yang Allah telah memerintahkan dia untuk mengamalkannya. Dan hendaknya dia bersungguh-sungguh agar
ilmu akidahnya tersebut bisa memberi pengaruh pada diri,
ibadah, dan taqarrub-nya kepada Allah.” (Tadzkiratul Mu’tasi Syarh
Akidah, Al-Hafizh Abdul Ghaniy Al-Maqdisi; hal 21-22)
Marilah kita bercermin dan menginstropeksi diri kita, apakah dengan semakin bertambahnya
ilmu kita demikian juga bertambah amalan kita? Ataukah bertambahnya
ilmu justru membuat kita semakin malas dalam beramal? Bukankah kita masih ingat, di awal-awal mengenal pengajian, semangat kita begitu besar dalam menjalankan
sunah-sunah Nabi, akan tetapi kenapa ada sebagian dari kita dengan semakin bertambahnya
ilmu justru semakin sedikit beramal? Bahkan, ada pula sebagian kita setelah mengetahui beberapa amalan hukumnya
sunah (mustahab) dan tidak wajib, malah terdorong untuk meninggalkan amalan tersebut. Bertambahnya
ilmu justru mengantarkannya untuk meninggalkan amalan. Bukankah bisa jadi karena terbiasa meninggalkan amalan-amalan
sunah akhirnya perkara-perkara yang wajib pun bisa ditinggalkan?
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah pernah berkata:
وَإِذَا أَصَرَّ عَلَى تَرْكِ مَا أُمِرَ بِهِ مِنْ السُّنَّةِ وَفِعْلِ مَا نُهِيَ عَنْهُ فَقَدْ يُعَاقَبُ بِسَلْبِ فِعْلِ الْوَاجِبَاتِ حَتَّى قَدْ يَصِيرُ فَاسِقًا أَوْ دَاعِيًا إلَى بِدْعَةٍ
“Seseorang jika terus meninggalkan
sunah yang diperintahkan dan melakukan perkara yang terlarang maka bisa jadi dia dihukum (oleh Allah) dengan meninggalkan hal-hal yang wajib, hingga akhirnya bisa jadi ia menjadi orang fasik atau orang yang menyeru kepada
bid’ah.” (Majmu’ Al-Fatawa 22/306)
Marilah kita cek hati dan ke
takwaan kita, apakah dengan bertambah
ilmu setelah sekian tahun ikut pengajian, maka ke
takwaan dan ke
imanan kita semakin berkobar, ataukah malah semakin kendor? Jika ternyata kita semakin malas beramal dan semakin lemah
iman kita maka ingatlah nasihat Syaikh Abdurrozzaq tadi bahwasanya
niat kita selama ini ternyata terkontaminasi dan ternodai dengan penyakit-penyakit hati;
baik riya, ujub, atau tujuan-tujuan duniawi lainnya.
Allahul musta’an.
Ilmu adalah Pohon, dan
Amal adalah Buahnya
Para pembaca yang budiman, tahukah Anda bahwa
ilmu bukanlah
ibadah yang independen?
Ilmu hanya disebut
ibadah dan terpuji apabila
ilmu tersebut membuahkan
amalan. Jika
ilmu tidak membuahkan
amal maka jadilah tercela dan akan menyerang pemiliknya. Hal ini dijelaskan dengan tegas oleh Al-Imam Asy-Syathibi dalam kitabnya yang luar biasa Al-Muwafaqat. Beliau berkata:
أَنَّ كُلَّ عِلْمٍ لا يُفيد عَمَلاً؛ فَلَيْسَ فِي الشَّرعِ مَا يَدُلُّ عَلَى استِحسَانِه
“Semua
ilmu yang tidak membuahkan
amal maka tidak dalam syariat satu dalil pun yang menunjukkan akan baiknya
ilmu tersebut.” (Al-Muwafaqat 1/74)
Oleh karena itu, semua dalil yang berkaitan dengan keutamaan
ilmu dan penuntut
ilmu semuanya harus dibawakan kepada
ilmu yang disertai dengan
amal.
Firman Allah:
قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لا يَعْلَمُونَ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الألْبَابِ (٩)
“Katakanlah: ‘Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sesungguhnya orang yang berakal-lah yang dapat menerima pelajaran. (Q.S. Az-Zumar: 9)
شَهِدَ اللَّهُ أَنَّهُ لا إِلَهَ إِلا هُوَ وَالْمَلائِكَةُ وَأُولُو الْعِلْمِ قَائِمًا بِالْقِسْطِ لا إِلَهَ إِلا هُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ (١٨)
Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu), tak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana. (Q.S. Ali Imran: 18)
يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ
Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. (Q.S. Al-Mujadalah: 11)
Demikian juga semisal hadits Nabi saw.:
من يُرِدِ اللهُ به خيرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّيْنِ
Barang siapa yang Allah kehendaki kebaikan baginya maka Allah akan membuat dia faqih (paham) tentang
ilmu agama.
Maksudnya adalah orang yang dikendaki kebaikan oleh Allah adalah orang yang diberi
ilmu dan mengamalkan
ilmunya. Adapun orang yang ber
ilmu dan tidak mengamalkan
ilmu maka tercela, karena jelas
ilmunya akan menjadi bumerang baginya.
Asy-Syathibi rahimahullah membawakan banyak dalil yang menunjukkan akan hal itu. Beliau berkata: “Sesungguhnya ruh
ilmu adalah
amal. Jika ada
ilmu tanpa
amal maka
ilmu tersebut kosong dan tidak bermanfaat. Allah telah berfirman:
إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ
Sesungguhnya yang takut kepada Allah adalah para ulama. (Q.S. Fathir: 28)
Dan Allah juga berfirman:
وَإِنَّهُ لَذُو عِلْمٍ لِمَا عَلَّمْنَاهُ
Dan Sesungguhnya Dia mempunyai pengetahuan, karena Kami telah mengajarkan kepadanya. (Q.S. Yusuf: 68)
Qatadah berkata: “Maksudnya adalah لَذُو عَمَلٍ بِمَا عَلَّمْنَا dia mengamalkan
ilmu yang Kami ajarkan kepadanya…” (Al-Muwafaqat 1/75).
Dan yang paling menunjukkan akan hal ini adalah hadits Nabi :
لاَ تَزُوْلُ قَدَمَا الْعَبْدِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتىَّ يُسأَلَ عَنْ خَمْسِ خِصَالٍ”،
“Tidak akan bergerak kedua kaki seorang hamba pada hari kiamat sampai ditanya tentang lima perkara.” Di antara lima perkara tersebut yang disebutkan oleh Nabi : وعَنْ عِلْمِهِ, مَاذَا عَمِلَ فِيهِ؟ “ Dia akan ditanyakan tentang
ilmunya, apa yang telah diamalkan dari
ilmunya?”
Pernah ada seseorang yang bertanya (masalah agama) kepada Abu Ad-Darda’, maka Abu Ad-Darda’ berkata kepadanya: “Apakah semua masalah agama yang kau tanyakan kau amalkan?” Orang itu menjawab: “Tidak.” Maka Abu Ad-Darda’ menimpalinya: “Apa yang engkau lakukan dengan menambah hujjah yang akan menjadi bumerang bagimu?” (Al-Muwaafaqaat 1/82 sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Abdil-Bar dalam Al-Jami’ no 1232).
Oleh karena itu, sungguh indah kesimpulan yang disampaikan oleh Asy-Syathibi dalam perkataannya: “Dan dalil akan hal ini (bahwasanya ilmu hanyalah wasilah untuk
amal dan bukan tujuan) terlalu banyak. Semuanya memperkuat bahwa
ilmu merupakan sebuah wasilah (sarana) dan bukan tujuan langsung jika ditinjau dari kacamata syariat. Akan tetapi,
ilmu hanyalah wasilah untuk ber
amal. Maka semua dalil yang menunjukkan akan keutamaan
ilmu hanyalah berlaku bagi
ilmu yang disertai dengan
amalan. Dan
kesimpulannya bahwasanya seluruh ilmu syar’i tidaklah dituntut (dalam syariat) kecuali dari sisi sebagai sarana untuk mencapai sesuatu yaitu amal.” (Al-Muwafaqat 1/83-85)
Sungguh indah wasiat Al-Khathib al-Baghdadi kepada para penuntut
ilmu:
إِنِّي مُوصِيكَ يَا طَالِبَ الْعِلْمِ بِإِخْلَاصِ النِّيَّةِ فِي طَلَبِهِ، وَإِجْهَادِ النَّفْسِ عَلَى الْعَمَلِ بِمُوجَبِهِ، فَإِنَّ الْعِلْمَ شَجَرَةٌ وَالْعَمَلَ ثَمَرَةٌ، وَلَيْسَ يُعَدُّ عَالِمًا مَنْ لَمْ يَكُنْ بِعِلْمِهِ عَامِلًا، ... وَمَا شَيْءٌ أَضْعَفُ مِنْ عَالِمٍ تَرَكَ النَّاسُ عِلْمَهُ لِفَسَادِ طَرِيقَتِهِ ، وَجَاهِلٍ أَخَذَ النَّاسُ بِجَهْلِهِ لِنَظَرِهِمْ إِلَى عِبَادَتِهِ ...
وَالْعِلْمُ يُرَادُ لِلْعَمَلِ كَمَا الْعَمَلُ يُرَادُ لِلنَّجَاةِ ، فَإِذَا كَانَ الْعَمَلُ قَاصِرًا عَنِ الْعِلْمِ، كَانَ الْعِلْمُ كَلًّا عَلَى الْعَالِمِ ، وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ عِلْمٍ عَادَ كَلًّا، وَأَوْرَثَ ذُلًّا، وَصَارَ فِي رَقَبَةِ صَاحِبِهِ غَلًّا ، قَالَ بَعْضُ الْحُكَمَاءِ: الْعِلْمُ خَادِمُ الْعَمَلِ، وَالْعَمَلُ غَايَةُ الْعِلْمِ
Aku memberi wasiat kepadamu wahai penuntut
ilmu untuk mengikhlaskan
niat dalam menuntut
ilmu dan berusaha keras untuk mengamalkan konsekuensi
ilmu. Sesungguhnya
ilmu adalah pohon dan
amal adalah buahnya. Seseorang tidak akan dianggap alim bila tidak mengamalkan
ilmunya. Tidak ada yang lebih lemah dari kondisi seorang alim yang ditinggalkan
ilmunya oleh masyarakat karena jalannya (yang kosong dari
amal) dan seorang yang jahil yang diikuti kejahilannya oleh masyarakat karena melihat ibadahnya.”
Tujuan
ilmu adalah
amal, sebagaimana tujuan
amal adalah keselamatan. Jika
ilmu kosong dari
amal maka
ilmu itu akan menjadi beban (bumerang) bagi pemiliknya. Kita berlindung kepada Allah dari
ilmu yang menjadi beban (bumerang) dan mendatangkan kehinaan, dan akhirnya menjadi belenggu di leher pemiliknya.
Sebagian ahli bijak berkata, “
Ilmu adalah pembantu bagi a
mal, dan
amal adalah puncak dari
ilmu.” (Iqtidhaul Ilmi Al-’Amal 14-15)
Semangat Ber
amal Mengalahkan Kelelahan dan Kelemahan
Syaikh Abdurrozaq bercerita, “Suatu ketika aku pernah shalat Tarawih di Masjid Nabawi. Dulu, setiap malam bulan Ramadhan, para imam Masjid Nabawi membaca tiga juz dari Al-Quran dangan bacaan tartil. Berbeda dengan sekarang di mana para imam hanya membaca satu juz. Ketika itu, aku shalat dan ternyata di hadapanku ada seorang dari Indonesia yang juga ikut shalat malam. Yang menarik perhatianku, ternyata orang tersebut kakinya buntung satu. Tatkala berdiri dia hanya bertopang pada satu kakinya. Sungguh menakjubkan, kita yang memiliki dua kaki merasa kelelahan menunggu imam menyelesaikan bacaan tiga juz dalam sepuluh rakaat, sementara orang Indonesia ini meskipun hanya bertopang pada satu kaki tetapi semangatnya yang begitu luar biasa; sama sekali tidak bergeming selama shalat, tidak terjatuh atau tertatih-tatih. Keimanan yang luar bisa yang menjadikannya kuat untuk bertahan berjam-jam melaksanakan shalat Tarawih.”
Kisah yang luar biasa ini beberapa kali saya dengar dari Syaikh tatkala memotivasi murid-muridnya untuk semangat ber
amal. Timbul kebanggaan dalam diri saya mengetahui orang yang beliau contohkan itu berasal dari Indonesia, namun sekaligus timbul rasa malu dalam diri saya, mengapa saya tidak semangat beribadah seperti orang yang buntung tersebut?
Manhaj Nabi??!!
Suatu ketika saat Syaikh mengisi pengajian, ada orang yang bertanya kepada beliau, “Ya Syaikh, bagaimanakah
manhaj Nabi?”
Pertanyaan ini unik karena diajukan saat santer-santernya fitnah
tahdzir-mentahdzir di Arab Saudi, dan orang tersebut tentunya berniat baik ingin mengetahui bagaimanakah
manhaj yang benar sehingga ia bisa berada di atas
manhaj yang lurus sehingga selamat di tengah badai t
ahdzir dan
fitnah. Namun, apa jawaban Syaikh?
Beliau berkata, “
Manhaj Nabi sudah jelas dan diketahui. Nabi bangun tengah malam lantas shalat malam. Menjelang shubuh beliau bersahur, lalu beristighfar menunggu shubuh. Kemudian beliau shalat Shubuh berjamaah. Setelah itu beliau duduk di masjid, berdzikir hingga waktu syuruq, lalu shalat dua rakaat. Jika tiba waktu dhuha beliau shalat Dhuha, dan seterusnya. Beliau bersedekah, mengunjungi orang sakit, membantu orang yang kesusahan, menjamu tamu… dan seterusnya. Manhaj beliau ma’ruf.”
Demikian kira-kira jawaban beliau. Jawaban yang mengingatkan sebagian kita yang menyukai
tahdzir-mentahdzir agar jangan lupa ber
amal. Jangan sampai kita yang mengaku di atas
manhaj yang benar dan memberikan porsi yang besar terhadap
manhaj, lantas lalai dari ber
amal shalih. Jangan sampai kita yang semangat
mentahdzir kesalahan orang lain, ternyata orang yang kita
tahdzir tersebut lebih perhatian terhadap
amal daripada kita.
Saya teringat nasihat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah terhadap orang yang suka mentahdzir tapi kurang suka beramal, sementara orang yang ditahdzir justru lebih semangat dalam beramal.
Ibnu Taimiyyah berkata, “Dan banyak orang-orang yang mengingkari
bid’ah-bid’ah ibadah dan adat, engkau dapati mereka muqashir (kurang) dalam mengerjakan
sunah-sunah dari hal yang berkaitan dengan
ibadah, atau dalam ber-
amar makruf, menyeru manusia untuk mengerjakan
sunah-sunah tersebut (yang berkaitan dengan
ibadah). Dan, mungkin saja keadaan mereka, yang mengingkari
bid’ah namun tidak mengerjakan banyak
sunah Nabi, justru lebih buruk dari keadaan orang yang melakukan
ibadah yang bercampur dengan suatu kemakruhan (Maksud ibnu Taimiyyah dengan kemakruhan di sini adalah
kebid’ahan sebagaimana sangat jelas dalam penjelasan beliau sebelumnya-pen). Bahkan, agama itu adalah
amar makruf dan nahi mungkar, dan tidak bisa tegak salah satu dari keduanya kecuali jika bersama dengan yang lainnya. Maka tidaklah dilarang suatu kemungkaran kecuali diperintahkan suatu
kemakrufan.” (Iqtidho’ As-Shirootil Mustaqiim II/126.)
Madinah, 19 04 1432 H / 24 03 2011 M
Abu Abdilmuhsin Firanda